Islam dan Sains
Untuk Memeperjelas hubungan antara Sains dan Islam diperlukan kajian mendalam mengenai makna Islam itu sendiri. Islam adalah sebuah nama agama yang jika ditelusuri makna ontologinya dalam bahasa Arab berarti keselamatan atau ketaatan kepada perintah tanpa menolaknya. Islam dari kata aslama berarti masuk kepada Islam, yakni mengikhlaskan din kepada Allah atau juga berserah diri kepada Allah. Berakar dari kata salima-yaslamu yang berarti selamat, berserah diri dan rela kepada suatu hukum dan aslama-yuslimu yaitu menampakkan ketaatan dan mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, taat kepada perintah Allah dan mengikhlaskan diri untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan muslim adalah orang yang beragama Islam dan berserah diri dan menerima ajaran Rasulullah SAW. Umumnya, Islam dianggap sebagai agama yang kadangkala diterjemahkan menjadi religion atau dalam bahasa Arab berarti din. Penerjemahan dan pemaknaan ini sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam. Perbedaan kata dan bahasa akan sangat
mempengaruhi keyakinan dan worldview manusia dalam memahami konsepsi segala sesuatu. Jika Islam dianggap sebagai agama, dalam bahasa Indonesia, ia berarti
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang Maha Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu. Sedangkan religion berarti kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan yang berimplikasi pada menjalankan ritual untuk menyembahnya dan adanya berbagai ajaran yang berdimensi spiritual.
Jika Islam dianggap sebagai din, maka maknanya juga akan lain. Kata din merupakan kata bahasa Arab daana-yadiinu yaitu pemberian untuk jangka waktu tertentu, memberikan harta untuk tempo tertentu atau memberikan hutang, sedangkan dayn adalah hutang. Dayn dalam makna din juga dimaknai sebagai keberhutangan kepada dayyan yaitu Allah. Kata tersebut juga mengacu pada istilah din berarti ketaatan, berpegang teguh, dan keterikatan untuk menjadi hamba. Atau
juga diyanah dalam Islam berarti keyakinan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan,
dan mengerjakan rukunnya secara jasmani. Dalam berbagai tafsir ayat al-Qur’an, din yang terlengkap, terbaik, dan diridhoi adalah ber-Islam kepada Allah. Sedangkan makna utama din secara filosofis disimpulkan oleh al-Attas menjadi empat unsur, yaitu keberhutangan manusia secara eksistensial kepada Allah, penyerahan diri manusia kepada Allah, pelaksanaan kekuasaan pengadilan, dan suatu cerminan dari kecenderungan alami manusia atau fitrah yang kembali pada Hari Perjanjian pertama. Menurut Jujun S. Suriasumantri, penerjemahan kata sciene menjadi ilmu atau ilmu pengetahuan memiliki masalah yang pokok. Selanjutnya, ia mengusulkan kata padaan untuk ilmu adalah knowledge, sedangkan science adalah ilmu pengetahuan. Demikian pula, Syed Naquib al-Attas juga memberikan catatan khusus mengenai penyebutan sains sebagai ilmu tersebut dikarenakan ilmu merupakan istilah dari bahasa Arab yaitu ‘ilm. Sedangkan makna ‘ilm dalam bahasa Arab mencakup ma’rifah (ilmu pengenalan) dan ilmu pengetahuan (sains). Karena keduanya memiliki implikasi masing-masing Sains Islam secara khusus dapat didefinisikan sebagai aktifitas saintifik atau ilmiah yang memiliki dasar atau berpedoman pada Islamic worldview (yaitu penggunaan konsep “natural” secara Islami) dan merupakan pengejawentahan secara langsung dari skema konseptual saintifik yang Islami. Tentunya dalam pencapaian kegiatan saintifik/ ilmiah ini, Islam juga menekankan adanya sumber-sumber dan metode ilmu tersebut. Islam memandang sains yang bersifat fisik tidak hanya pada tataran lahiriyah saja, namun juga adanya tujuan, kebenaran, dan pengakuan wahyu sebagai satu-satunya suber ilmu tentang realitas dan kebenaran yang terkait dengan makhluk dan khaliknya. Artinya, dalam melakukan kegiatan saintifik, para ilmuwan muslim yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits akan dapat melahirkan produk sains yang membawa maslahat bagi kehidupan manusia, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Sains menurut Islam secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil atau interpretasi alegoris dari benda-benda empiris yang menyusun dunia alam. Sains
semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap pada tafsir atau interpretasi dari penampakan atau makna yang jelas dari benda-benda dalam alam. Penampakan dan makna mereka yang jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam sistem hubungan dan tempat mereka menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas kebenaran dari arti mereka dikenali. Saat ini, filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi itu pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains dalam studi alam. Adalah interpretasi tentang pernyataan ini dan kesimpulan umum sains dan arah sains sepanjang garis yang ditawarkan oleh interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi kritis. Dalam Islam, sains sangat terikat dengan ilmu pengatahuan dan iman. Karena sifat dari kandungan proposisionalnya sama dengan sifat dari prinsip pertama logika. dan pengetahuan metafisika, etika, dan estetika; maka dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menerangi segala sesuatu. Bahwa iman
adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dengan, dan perlu bagi, pemahaman yang benar atas mereka. Ia adalah dasar bagi penafsiran yang rasional atas alam semesta sebagaimana ia merupakan prinsip utama dari akal, tidak mungkin bersifat non-rasional dan bertentangan dengan diri sendiri. Alam semesta yang menjadi sumber realitas penalaran sains merupakan gambaran yang tak terpisahkan dari wujud Allah. Karena di balik wujud dan realitas alam semesta ini terdapat dimensi metafisik dan tujuan dari penciptaannya. Sains dalam Islam ditujukan untuk melakukan pembuktian terhadap isyarat-isyarat untuk pencarian ilmu sebagaimana tertera dalam al-Qur’an.
Untuk melihat hubungan antara Islam dan sains perlu dilakukan klarifikasi yang mendalam. Saat ini, banyak orang yang salah faham dalam memandang Islam –
yang sebagaimana difahami oleh orang selain Muslim – bahwa Islam hanya sekedar agama yang sepadan dengan agama Kristen, Hindu, Buddha, dan bahkan juga kepercayaan animism-dinamisme lainnya. Tentu hal ini dilihat – khususnya oleh orang Barat – sebagai bangsa yang saat ini berkembang dalam hal sains dan teknologi, sebagai sejarah mereka pada zaman di mana mereka dikuasai oleh Gereja (Dark Age). Dengan asumsi mereka bahwa agama sangat bertentangan dengan sains dan teknologi. Sains dan agama di Barat memiliki hubungan yang kontradiktif sebagaimana telah ada dalam paparan di atas. Sedangkan tradisi keilmuan di Barat selalu mengalami diskurus yang berkutat pada realisme empiris dan rasionalis, bahkan berujung hingga penafian intuisi serta keberadaan wahyu Ilahi dari Allah. Dengan demikian, sains dan agama di Barat akhirnya tidak mengandung hubungan sama sekali. Hal ini berbeda secara diametral dengan tradisi keilmuan yang ada dalam Islam. Meskipun Islam menerima rasio, akal, dan realitas alam semesta sebagai suatu hal yang empiris dan faktual, namun lebih jauh lagi Islam mengakui adanya dimensi metafisik berupa nilai kebenaran, adab, dan iman yang terkandung dalam realitas tersebut. Tentunya kesemuanya bersumber dari pengakuan kepada wahyu Allah sebagai otoritas dan sumber kebenaran yang mutlak. Namun tentunya pengetahuan mengenai Islam dalam tataran yang mendalam tersebut masih perlu banyak disebarkan untuk diketahui orang. Karena saat ini, realitas dan fakta menunjukkan bahwa kondisi umat Islam sangatlah tidak beruntung karena tertinggal dalam segi ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang berakar dari turunnya perkembangan tradisi keilmuan pada orang muslim itu sendiri. Hal tersebut berimplikasi pada masuknya worldview dan pandangan hidup Barat dalam kesehariannya. Jika seseorang, bahkan juga seorang muslim melihat sains dan agama denganbworldview Barat, maka antara sains dan Islam (sebagai agama) tidak ada hubungannya. Sebagaimana sains merupakan hal yang ilmiah dan materialistis sedangkan agama adalah urusan pribadi (private). Seorang saintis, bahkan saintis muslim namun memiliki framework berfikir sekuler, tentu juga akan berfikir bahwa hubungan sains dan Islam adalah negatif, bahkan sains Islam akan dianggap omong kosong karena pendapatnya bahwa ilmu dan sains adalah netral. Hal tersebut juga akan terjadi pada sarjana muslim yang tidak mempelajari Islam secara mendalam dan filosofis, sehingga ia menganggap Islam hanya sekedar ritual keagamaan tanpa memiliki dimensi yang lebih luas. Yang seharusnya terjadi, bahwa antara sains dan Islam memiliki hubungan yang sangat erat, karena sains Islam adalah lahir dari worldview dan pandangan hidup Islam yang terderivasi dari al-Qur’an dan Hadits sebagai otoritas kebenaran. Dan kita tidak boleh memaknai sains dan agama sebagaimana yang ada dalam tradisi Barat, atau bahkan melihatnya dengan framework berfikir Barat. Karena jika demikian, kita akan ikut berkesimpulan bahwa dalam sains dan agama tidak ada hubungan apapun.
Komentar
Posting Komentar